Rapat Konsultasi Nasional Penyusunan Strategi Nasional REDD+ diselenggarakan di Kantor BAPPENAS Jakarta pada tanggal 10 Nopember 2010 dengan peserta undangan BAPENAS, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup, UN REDD, UNDP Indonesia, Penulis isi, BAPPEDA Provinsi Seluruh indonesia, Dinas Kehutanan Provinsi Seluruh Indonesia, NGO, dan masyarakat adat.
Rapat dibuka oleh Wakil Menteri BAPPENAS dan dihadiri oleh pejabat eselon I dari BAPPENAS, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup serta Deputi I UKP4. Hadir dari Kementerian Kehutanan Sekretaris Jenderal, Dirjen Planologi dan Dirjen RLPS.
Rapat Konsultasi Nasional Penyusunan Strategi Nasional Reducing Emission From Deforestation and Degradation Plus (REDD+) merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka penyusunan Stranas REDD+ setelah selesainya konsultasi yang dilaksanakan di tingkat regional.  Konsultasi nasional penyusunan REDD+ bertujuan untuk menyampaikan rancangan stranas REDD+ berdasarkan hasil konsultasi regional dan mendapatkan masukan bagi penyempurnaan stranas REDD+.
Disampaikan oleh Sekjen Kementerian Kehutanan bahwa Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan upaya sendiri atau sampai dengan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2020 berdasarkan Business as Usual (BAU). Dari komitmen sebesar 26%,  sektor kehutanan (LULUCF) berkontribusi sebesar 14 %.
Emisi Indonesia diperkirakan bertambah dari 1,5 Gt CO2e menjadi 2,6 Gt CO2e antara tahun 2000 dan 2020 dan emisi dari sektor kehutanan bertambah dari 1,24 Gt CO2e menjadi 1,99 Gt CO2e (naik sekitar 61,79%). Berdasarkan gambaran tersebut, maka komitmen menurunkan emisi sektor kehutanan (LULUCF) sebesar 14% pada tahun 2020 (278,6 juta t CO2e) menjadi sebesar 1,712 Gt CO2e dibandingkan dengan Business as Usual (BAU).
Sektor kehutanan (LULUCF), disamping dituntut menurunkan emisi juga harus mampu memberikan lapangan kerja (pro job), mengentaskan kemiskinan (pro poor), dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional (pro growth) dengan tetap memperhatikan lingkungan (pro environment).
Ada kekhawatiran dari berbagai pihak bahwa target penurunan emisi akan berlaku kebalikan dengan target 7 persen pertumbuhan ekonomi.  Walaupun menurut pendapat Deputi I UKP4 Heru Prasetyo, berdasarkan pengalaman Brazil, tidak hubungan yang linier antara penurunan emisi dengan target pertumbuhan ekonomi.  Tetapi bebarapa audien lain memberikan sanggahan bahwa kasus Brazil belum bisa ditarik untuk menggeneralisasi keadaan di Indonesia karena diperlukan data yang lebih dari satu untuk dapat mengatakan teori tersebut sahih.  Dalam hubungan dengan tugas penurunan emisi tetapi tetap memelihara pertumbuhan ekonomi, Deputi I UKP4 Heru Prasetyo memperkenalkan istilah baru yaitu ”strategi 7-41” yaitu 7 persen pertumbuhan ekonomi dan 41 penurunan emisi.
Visi, Misi dan Sasaran REDD+ dirumuskan sebagai berikut :
-        Visi : Pembangunan yang bertumpu pada penyelenggaraan kehutanan yang berkelanjutan dan berkeadilan serta mendukung upaya mitigasi perubahan iklim
-        Misi :
1.         Mengurangi laju deforestasi
2.         Mengurangi degradasi hutan melalui penerapan prinsip sustainable forest management (SFM) secara baik dan benar
3.         Menjaga sediaan karbon melalui konservasi hutan
4.         Meningkatkan stok karbon hutan
5.         Meningkatkan kesejahteraan dan kualitas kehidupan masyarakat
-        Target/Sasaran :
Emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan turun sebesar minimum 14 persen dari komitmen nasional sebesar 26 persen pada tahun 2020
Terdapat 5 strategi dalam Rancangan Stranas REDD+ yang akan dijalankan untuk mencapai target penurunan emisi 14 % dari sektor kehutanan yaitu :
-      Strategi 1 : Penyempurnaan perencanaan dan pemanfaatan ruang secara seimbang dalam upaya menurunkan deforestasi dengan tetap menjaga pertumbuhan ekonomi nasional
-      Strategi 2  : Peningkatan Pengawasan dan Pemantauan (Control and Monitoring)
-      Strategi 3  :  Peningkatan Efektivitas Manajemen Hutan
-      Strategi : Meningkatkan pelibatan para pihak, terutama masyarakat adat dan masyarakat di sekitar hutan
-      Strategi 5             :  Penguatan Sistem Penegakan Hukum
Strategi Operasional yang disampaikan Kementerian Kehutanan dalam Pengurangan Emisi adalah :
-      Penerapan Nir-Pembakaran pada Penyiapan Lahan untuk Perkebunan Kelapa Sawit, Pembangunan HTI/HTR dan Pembangunan Infra Struktur, diperkirakan akan  menurunkan emisi  hingga 2020 sebesar 20,42 Gt CO2e, dengan biaya US$ 0.50 per ton.
-      Penerapan Reduced Impact Logging (R.I.L), diperkirakan akan  menurunkan emisi hingga 2020 sebesar 43,5 GtCo2e 2, dengan biaya US$ 1.10 per ton.
-      Konservasi Hutan, diperkirakan akan  menyimpan (stok) karbon  sampai dengan 2020 sebanyak  465 GtCO2e.
-      Pemanfaatan Areal Tak Berhutan untuk Pembangunan HTI/HTR/HKm dan Kebun Sawit, akan membantu penyediaan pangan dan energi terbarukan dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia, penyediaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan sekaligus menyerap karbon dan menyumbang dalam penurunan emisi sebesar 29,28 Gt CO2e 4 dengan biaya US$ 5.5 /ton
-      Reboisasi dan Rehabilitasi Hutan, diperkirakan akan memberi tambahan pengurangan emisi  pada 2020 sebesar 0,37 GtCO2e  dengan biaya US$ 5,5  /ton.
-      Restorasi dan Rehabilitasi Lahan Gambut Rusak, akan memberikan tambahan penurunan emisi pada 2020 sebanyak 0,732 Gt CO2e dengan biaya US$  5,5  / ton.
Apresiasi disampaikan oleh para peserta rapat terhadap hasil kerja panitia dan tim penyusun, hanya saja karena yang dibagikan kepada peserta rapat hanya ringkasan eksekutif bukan draft Stranas REDD+ yang utuh, sehingga tidak bisa memberi masukan lebih jauh, terhadap rancangan Stranas REDD+ tersebut.
Setelah Stranas selesai maka tahap selanjutnya adalah penyusunan Rencana Aksi Nasional REDD+, yang akan memuat implementasi kegiatan yang lebih operasional.
Kekhawatiran terjadinya paradok antara penurunan emisi dengan pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu topik diskusi yang banyak mendapat perhatian.  Untuk menjawab kekhawatiran tersebut, sektor kehutanan perlu mengkampanyekan bahwa kegiatan pembangunan kehutanan seperti kegiatan pembangunan hutan rakyat bukan hanya berpengaruh positif terhadap perbaikan lingkungan dan meningkatkan penyerapan karbon, tetapi saat ini kegiatan pengembangan hutan rakyat sudah menjadi kegiatan ekonomi yang bernilai tinggi dan diminati masyarakat.  Sehingga melalui kegiatan peningkatan penyerapan karbon seperti pembangunan hutan rakyat, akan dapat meminimalisir terjadinya paradok penurunan emisi dan pertumbuhan ekonomi.
Salah satu strategi pencapaian penurunan emisi yang menarik untuk disimak adalah pengembangan ekonomi hijau (green economics) melalui pemanfaatan ekonomi (tangible use) hutan dan areal penggunaan lain (hutan produksi lestari, budidaya pertanian dan perkebunan untuk ketahanan pangan, serta pertambangan) serta pengembangan nilai ekonomi pemanfaatan hutan untuk kebutuhan dan keberlanjutan lingkungan (non tangible use).  Konsep green economics tersebut perlu diturunkan dari tataran teori ke tataran nyata menjadi sebuah konsep pembangunan, dalam bentuk model-model pembangunan yang dapat merealisasikan cita-cita tersebut.  Mengambil contoh di Provinsi Banten, sudah terdapat model FKDC, tinggal bagaimana mengembangkannya menjadi model-model lain yang aplikatif sesuai dengan kebutuhan dan kondisi fisik wilayah serta sosial ekonomi masyarakat. 


Pada tanggal 30 September – 1 Oktober 2010 bertempat di di Hotel Yogyakarta Plaza berlangsung rapat Konsultasi Regional Jawa Penyusunan Strategi Nasional REDD+, dengan peserta undangan BAPENAS, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, UN REDD, UNDP Indonesia, Penulis isi, BAPPEDA Provinsi se jawa, Dinas Kehutanan Provinsi se jawa, Dinas Pertanian Provinsi se jawa, Dinas Pertambangan Provinsi se jawa, Dinas Pekerjaan Umum Provinsi se jawa, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi se jawa, Balai Taman Nasional se jawa, BPDAS se jawa, BKSDA se jawa, BPKH Jogjakarta,  NGO lokal, WWF, masyarakat adat, perguruna tinggi dan Perum Perhutani
Hadir dari Provinsi Banten, Kepala Bidang Prasarana Wilayah BAPPEDA Provinsi Banten, Dinas Bina Marga dan Tata Ruang Provinsi Banten dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten.  Wakil dari pemerintah pusat dalam diskusi kelompok Provinsi Banten adalah BKSDA Jabar dan BPDAS Citarum Ciliwung.  Tidak ada undangan untuk NGO lokal Banten.
Rapat konsultasi diselenggarakan dengan tujuan : 1) untuk mendiseminasikan kepada para pemangku kepentingan utama dokumen strategi nasional, profil dan penyebab laju deforestasi dan degradasi hutan dan REL (Reference Emission Level) masing-masing provinsi; 2) mendapatkan masukan dan saran perbaikan; 3) menyampaikan protokol komunikasi pasca konsultasi kepada pemangku kepentingan; 4) memperluas jaringan pemangku kepentingan terkait REDD+
REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus) merupakan pendekatan kebijakan dan insentif positif pada isu-isu yang berkenaan dengan pengurangan emisi yang berasal dari penurunan kerusakan hutan dan tutupan hutan, peran konservasi, pengelolaan hutan secara lestari serta peningkatan stock karbon hutan di negara berkembang.
Setiap Provinsi mendapat kesempatan untuk mempresentasikan tanggapan terhadap draft Stranas REDD+, profil provinsi, profil laju deforestasi dan degradasi serta REL.  Pada sesi presentasi ini, Provinsi Banten diwakili oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten dan tambahan dari BAPPEDA Provinsi Banten. Untuk membahas tema tersebut, pada hari kedua dilakukan FGD (Focus Grup Discussion) per provinsi dan hasilnya disampaikan pada acara pleno diakhir acara.
Tanggapan dari peserta rapat akan dibahas oleh Tim Penyusun STRANAS REDD+, sebagai bahan penyempurnaan draft.  Sedangkan finalisasi akan dilakukan setelah selesai konsultasi seluruh region dan ditutup dengan konsultasi nasional STRANAS REDD+

TANGGAPAN UMUM PESERTA RAPAT

Terhadap draft Stranas REDD+,  peserta rapat memberi tanggapan umum diantaranya adalah :
1.         Stranas REDD+ masih memuat materi yang seragam untuk seluruh kawasan dan seluruh ekosistem, padahal terdapat berbagai ragam karakteristik wilayah dan ekosistem hutan yang tidak mungkin untuk diseragamkan.
2.         Stranas REDD+ belum mewadahi karakteristik pengelolaan hutan yang berbeda antarai Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa.
3.         Starnas REDD+ baru memuat materi yang berkaitan dengan kawasan hutan, belum menyebut secara langsung kebijakan pengelolaan hutan diluar kawasan hutan seperti hutan rakyat.  Dalam kasus Pulau Jawa, boleh jadi hutan rakyat akan memegang peranan paling penting dalam melakukan kegiatan penyerapan karbon.

TANGGAPAN  TERHADAP TINGKAT EMISI REFERENSI (REFERENCE EMISSION LEVEL)

Berdasarkan hasil FGD provinsi, beberapa tanggapan yang disampaikan Provinsi Banten terhadap draft Stranas REDD+ adalah :
1.         Data yang disampaikan dalam Draft Stranas REDD+ belum detail, seperti data REL hanya dalam bentuk grafik, sehingga tidak bisa dibaca berapa angka REL Provinsi Banten serta perlu mencantumkan metode perhitungan sebagai bahan cross chek para pihak.
2.         REL per provinsi yang disusun berdasarkan data historis laju deforestasi hutan dan gambut, menunjukan REL terbesar adalah Provinsi Riau, diikuti Kalimantan Tengah, Papua, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan provinsi lainnya, Lampung, DIY dan DKI memiliki REL nol sedangkan Provinsi Banten mendekati nol (angkanya tidak terbaca).  Berdasarkan patokan data lahan kritis di Provinsi Banten, kemungkinan angka REL Banten lebih tinggi dari yang dilaporkan.  Data lahan kritis yang disampaikan BPDAS Citarum Ciliwung seluas ± 250.000 ha, sementara Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten menyampaikan luas lahan kritis diluar kawasan hutan sekitar 100.000 ha. 
3.         Terhadap kebijakan imlementasi REDD+ di daerah, diperlukan adanya Kebijakan  top down yang adaptif sebagai bahan rujukan pemerintah daerah
4.         Dalam upaya meningkatkan penurunan emisi, masih diperlukan penyusunan PERDA tentang pelestarian hutan dan lingkungan di Provinsi Banten seperti PERDA Pengelolaan Kawasan Lindung dan PERDA Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Mengingat saat ini Provinsi Banten baru memiliki 1 PERDA yang berkaitan pengelolaan hutan.
5.         BAPPEDA Provinsi Banten menyampaikan komitmen tahun 2011 untuk disusulkan Pembentukan POKJA daerah dan Kajian Data Tekhnis yang terkait dengan REDD.
6.         Lesson Learned  dari Provinsi Banten adalah Forum pelestarian DAS Hulu-Hilir di Banten dapat berjalan dengan baik sebagai bahan pembelajaran pelestarian DAS yang terintegrasi antara hulu dan hilir dan dapat diintegrasikan dengan kegiatan pelestarian lingkungan, penurunan emisi dan penyerapan karbon.

TANGGAPAN TERHADAP PENURUNAN LAJU DEFORESTASI DAN DEGRADASI
Identifikasi penyebab deforestasi dan degradasi hutan dilakukan menggunakan analisis Fishbone, tanggapan yang disampaikan Provinsi Banten adalah :
1.         Menambahkan aspek pengendalian tata ruang yang tidak konsisten sebagai komponen masalah dari aspek kategori masalah tata ruang yang lemah
2.         Mengusulkan untuk memisahkan kategori masalah unit manajemen hutan antara unit manajeman kawasan hutan dan unit manajemen diluar kawasan hutan
3.         Karena berdasarkan data REL yang disampaikan Provinsi Banten angkanya mendekati nol, mengandung arti aspek REDD+ di Provinsi Banten mengarah pada kegiatan reforestasi, sehingga diusulkan perlunya menambahkan kategori masalah reforestasi belum optimal dengan komponen masalah terdiri dari :
-    Anggaran untuk kegiatan rehabilitasi lahan belum mendapatkan prioritas
-    Rendahnya realisasi anggaran kegiatan rehabilitasi lahan (APBN) karena adanya ketakutan dari para penanggung jawab kegiatan
-    Pembinaan / kelembagaan / kemitraan dalam rangka mendukung kegiatan rehabilitasi lahan yang berbasis bisnis belum berjalan karena belum terbentuknya iklim bisnis pengusahaan hutan rakyat dengan sistem penjanjian berjangka waktu lama.
-    Belum terbentuknya unit pengelolaan hutan lestari di luar kawasan hutan
4.         Terhadap kategori tenurial bermasalah, Provinsi Banten menambahkan komponen masalah masih banyaknya lahan tidur yang tidak dikelola optimal oleh pemiliknya.  Justifikasinya adalah tercermin dari masih tingginya luas lahan kritis non kawasan hutan di Provinsi Banten.  Sedangkan disisi lain terdapat petani penggarap yang mencapai 30-50%, tidak memiliki lahan sehingga mereka merambah kawasan hutan untuk melakukan kegiatan budidaya.  Diusulkan perlunya kebijakan yang bisa mengurangi lahan hak milik yang terlantar, diantaranya dengan pola bagi hasil dengan para petani yang tidak memiliki lahan.

TANGGAPAN  TERHADAP STRATEGI NASIONAL REDD+

1.         Tanggapan terhadap prasarat  :
-      Diperlukan Pendampingan untuk peningkatan capacity building
-      Kelembagaan Khusus REDD di Daerah
-      Perlibatan dan dukungan lembaga legislasif
2.         Tanggapan terhadap Reformasi sektor :
-      Diperlukan pemerataan pemanfaatan lahan dan mekanisme pemanfaatan lahan antara pemilik lahan dan petani penggarap dalam rangka kegiatan peningkatan penyerapan karbon.
3.         Tanggapan terhadap distribusi manfaat :
-      Insentif yang diperoleh dari pembayaran dari keberhasilan penurunan emisi sebaiknya digunakan untuk perbaikan lingkungan, mitigasi bencana dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
-      Memastikan intensif yang diperoleh dapat dinikmati oleh daerah yang saat ini telah berhasil menurunkan emisi dan menjaga hutan dengan baik (emisinya kecil),  sehingga insentif bukan hanya terkonsentrasi pada pada daerah yang memiliki emisi besar, yang boleh jadi emisi tersebut disebabkan oleh pengelolaan hutan yang belum baik.
-      Insentif diberikan dalam distribusi yang berkeadilan antara daerah yang mampu menurunkan emisi dan daerah yang menaikkan stok karbon
-      Karena masyarakat sekitar kawasan hutan akan menanggung beban yang lebih berat dalam implemantasi REDD, maka harus ada kepastian bahwa manfaat yang diperoleh bisa dirasakan oleh masyarakat disekitar kawasan hutan.  Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang memihak masyarakat disekitar kawasan hutan dan kelembagaan pengelolaannya harus jelas.
-      Salah satu pola pemanfaatan yang dilakukan dapat mengambil banch mark program nasional yang sudah berjalan seperti PNPM.  Pendistribusian manfaat dapat diberikan pada lembaga masyarakat disekitar kawasan hutan dalam bentuk transper tunai yang akan digunakan untuk kegiatan ekonomi seperti pembangunan hutan rakyat.  Lembaga masyarakat yang dipilih dapat menggunakan lembaga masyarakat yang sudah ada seperti Lembaga Desa Masyarakat Hutan (LMDH) atau lembaga masyarakat baru yang dibentuk melalui kegiatan pendampingan yang kredibel.

REKOMENDASI

1.         Penurunan emisi 26 % atas kemampuan sendiri dan 41 % dengan dukungan luar negeri merupakan komitmen nasional yang sudah disampaikan Presiden SBY pada Sidang G20 di Pittsburgh September 2009 dan COP 15 UNFCCC di Kopenhagen Desember 2009.  Komitmen tersebut memerlukan dukungan semua pihak termasuk pemerintah daerah dengan cara mengambil peran sesuai dengan tugas dan kewenangannya masing-masing.  Provinsi Banten sebagai bagian dari struktur pemerintahan dan komponen bangsa ikut bertanggung jawab untuk mewujudkan komitmen tesebut.
2.     BAPPEDA Provinsi Banten sudah menyampaikan komitmen untuk menganggarkan kegiatan pembentukan POKJA daerah dan kegiatan kajian data teknis terkait REDD+ dalam APBD Tahun 2011.  Diperlukan tindak lanjut agar komitmen tersebut terealisasi pada tahun 2011.
3.         Dalam rangka desimenasi SRTANAS REDD+ di Provinsi Banten, diperlukan pertemuan dengan para pemangku kepentingan di Provinsi Banten untuk membicarakan langkah tindak lanjut yang perlu diambil.  Penyelenggaraan rapat bisa dilakukan dengan mengundang pemerintah pusat yang terlibat dalam penyusunan STRANAS REDD+ seperti BAPPENAS dan Kementerian Kehutanan.
4.         Salah satu skema stategi REDD+ adalah peningkatan stock karbon. Apabila mekanisme melalui pembangunan hutan rakyat dimungkinkan dalam skema REDD+, Dinas Kehutanan dan Perkebunan dapat menindaklanjutinya melalui kegiatan pembangunan hutan rakyat yang lebih terarah, salah satunya melalui inisiasi “Rehabilitasi Lahan Mandiri Berkelanjutan”
5.         Konsep “Rehabilitasi Lahan Mandiri Berkelanjutan” diajukan dengan pertimbangan sebagai berikut :
-      Perlunya konsep kegiatan yang disusun dengan memperhatikan pemerataan kesejahteraan di pedesaan.  Justifikasinya adalah masih banyak lahan yang tidak dikelola dengan optimal oleh pemilik lahan yang tercermin dari data luas lahan kritis yang mencapai 117.913,29 ha.  Tetapi disisi lain terdapat paradok petani yang ingin melakukan kegiatan budidaya ternyata terbentur masalah lahan. Menurut data BAPPENAS Bila pada tahun 1973  jumlah petani penggarap tercatat sebanyak 3,2%, pada tahun 1980 jumlahnya meningkat menjadi 14,9%.  Sebuah contoh data mikro keadaan pemilikan lahan di Kabupaten Pandeglang menunjukan, misalnya  Di Desa Cipicung dan Desa Cimanuk jumlah petani penggarap yang tidak memiliki lahan mencapai 50-60%.
-      Perlunya konsep kegiatan pemberdayaan masyarakat, yang mampu mengarahkan masyarakat agar mampu melakukan kegiatan rehabilitasi lahan secara mandiri, sehingga kegiatan rehabilitasi lahan tidak membebani anggaran pemerintah secara terus menerus.
-      Perlunya konsep rehabilitasi yang memperhitungkan manfaat ekonomi langsung untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
-      Perlunya konsep kegiatan rehbailitasi lahan yang bergulir secara berkelanjutan dan mampu meningkatkan luas lahan terehabilitasi dengan ekskalasi yang signifikan.
-      Pola yang memiliki kemiripan sudah digagas di Provinsi Jawa Barat untuk tahun 2011 dengan nama “Rehabilitasi Lahan Berbasis Bisnis”.
-      Rehabilitasi lahan dalam bentuk pembangunan hutan rakyat secara mandiri dan swadaya oleh masyarakat kemungkinan akan terus berkembang walaupun tanpa sentuhan pemerintah tapi dengan peningkatan yang tidak terlalu cepat.  Pemerintah tinggal memberi sentuhan dengan konsep kegiatan yang tepat, agar pembangunan hutan rakyat dapat berlari cepat sekaligus untuk menyelamatkan eksistensi pemerintah ditengah hingar-bingar bisnis pengusahaan rakyat.  Jangan sampai timbul keraguan terhadap peran pemerintah dalam percepatan pembangunan hutan rakyat.



Oleh : IRWAN SETIAWAN, S.Hut, M.Si.



Ketika menyampaikan sambutan dalam acara penyerahan sertifikat tanah kepada petani pada peringatan Hari Agraria Nasional di Istana Bogor, Presiden SBY terhenti sejenak, karena merasa terharu dengan kondisi para petani yang tidak bisa menjadi tuan tanah di negerinya sendiri.  Beberapa media memberitakan presiden menangis, bahkan seolah tidak mau ketinggalan greget, media yang lain menyebutkan presiden menitikkan air mata, beserta bumbu-bumbu lainnya.  Dalam wawancara sebuah stasiun televisi, seorang pengamat mempertanyakan, apakah kesedihan presiden tersebut terlambat, sehingga baru sekarang presiden mengetahui keadaan tersebut? Pengamat tersebut mengkritisi, apakah orang-orang di lingkaran presiden tidak menyampaikan informasi yang memadai sebelumnya, sehingga baru sekarang presiden mengetahui kondisi tersebut? Riuh rendah sepertinya lebih tertuju pada ekspresi presiden, dibandingkan dengan substansi masalah yang tersaji.
Terlepas dari tanggapan yang beragam dari masyarakat,  satu informasi penting yang seharusnya ditangkap adalah, adanya masalah serius dalam hal kepemilikan lahan di negara kita sehingga membuat seorang kepala negara bersedih.  Sebenarnya seberapa parah masalah kepemilikan lahan tersebut mengganggu perjalanan bangsa ini?  Masalah sempitnya luas kepemilikan lahan oleh petani di Indonesia sudah banyak dibahas oleh banyak pakar dan peneliti.  Petani kita yang bertugas memproduksi makanan pokok berjuta penduduk Indonesia dan menyediakan produk pertanian lainnya, rata-rata kepemilikan lahannya hanya 0,25 Ha untuk satu keluarga.  Dengan lahan sesempit itu, tidak mungkin petani dapat melakukan kegiatan budidaya dengan ekonomis. Sehingga tidak heran jika kesejahteraan petani berada pada batas yang menyedihkan dibanding dengan profesi lain.  Padahal petanilah yang berpeluh diterik matahari menangkap energi dan nutrisi alam yang menjadi sumber kehidupan profesi yang lain.
Cita-cita Landreform
Jika lahan yang dimiliki petani terlalu sempit, pertanyaan selanjutnya adalah apakah ada lahan-lahan lain yang bisa dibagikan kepada petani sehingga mereka bisa melakukan kegiatan pertanian yang ekonomis?  Pada jaman Presiden Sukarno sebenarnya telah digagas landreform untuk mendistribusikan lahan kepada para petani.  Tetapi sayang karena gagasan tersebut ditunggangi (ditangkap) oleh sebuah kepentingan politik yang berseberangan dengan idiologi politik yang lainnya, setelah drama politik G30S-PKI konsep landreform menjadi terberangus. 
Salah satu cita-cita landreform adalah meningkatkan produktivitas lahan dan skala ekonomi pengusahaannya, sehingga mampu mensejahterakan petani.  Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan melalui distribusi kepemilikan lahan.  Jepang, Korea Selatan dan Cina disebut sebagai salah satu negara yang berhasil melakukan land reform dan berhasil keluar dari masalah pertanian yang tidak ekonomis serta menciptakan distribusi lahan yang mampu memberikan kesejahteraan yang lebih merata, sehingga mereka tumbuh menjadi negara yang kuat.  
Untuk mewujudkan landreform yang efektif di negara kita, diperlukan kemauan politik yang kuat dan kehati-hatian dalam penerapannya. Trauma masa lalu, menyebabkan isu landreform mudah disalah artikan dan dipadamkan.  Sehingga walaupun setelah reformasi, diperkenalkan model pendekatan baru melalui Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN), yang mentargetkan pendistribusian lahan non produktif kepada para petani dengan total luas 8,12 juta hektar, tetapi sampai saat ini, target tersebut belum kunjung terealisasi.  Harapan baru muncul dengan terbitnya PP Nomor 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang diharapkan dapat  meningatkan kesejahteraan petani melalui pemilikan sebidang lahan produktif. Tetapi sekali lagi, masih perlu waktu untuk dapat melihat cita-cita tersebut dapat terwujud.
Kebijakan Distribusi Pemanfaatan  Pada Lahan Hak Milik
Selain menyelesaikan masalah pada lahan negara yang terlantar, perhatian juga perlu diberikan pada lahan-lahan hak milik yang tidak dimanfaatkan dengan optimal oleh pemiliknya.   Lahan adalah pemberian Tuhan, tidak ada seorangpun manusia yang membuatnya, maka itu siapapun yang dianugerahi memiliki lahan harus mampu mendayagunakannya sehingga memberikan manfaat yang optimal, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang lain yang tidak dianugerahi lahan, karena lahan yang terbatas, tidak mungkin dibagi ke semua penduduk. Luas lahan sangat sulit untuk bisa bertambah (bahkan karena pemanasan global, malah berkurang akibat terendam air laut), maka upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan tidak boleh berhenti.  Untuk itu perlu sebuah kebijakan pemerintah yang konsisten agar lahan yang tersedia bisa berfungsi optimal berbarengan dengan terjadinya pemerataan kesejahteraan masyarakat.
Mengapa kebijakan optimalisasi lahan hak milik menjadi penting? Karena masih banyak lahan yang dikuasai oleh pemilik lahan yang belum optimal pemanfaatannya bahkan terlantar.  Kita akan dengan mudah menjumpai lahan-lahan dengan tujuan investasi dibiarkan terlantar begitu saja. Bukti banyaknya lahan tidak produktif, adalah negara subur seperti Indonesia, yang katanya tongkat kayu dan batu jadi tanaman, ternyata kita masih banyak mengimpor hasil pertanian.  Bukti lainnya bisa dilihat dari data lahan kritis Kementerian Kehutanan yang mencapai lebih dari 185 juta hektar.  Lahan kritis tersebut menjadi bukti bahwa pemilik lahan tidak mendayagunakan lahannya secara optimal.  Padahal dipihak lain terdapat banyak masyarakat yang tidak mempunyai lahan yang bersedia bercocok tanam dimana saja, walaupun di lokasi-lokasi yang berbahaya sekalipun, termasuk merambah kawasan hutan.  Jika setiap jengkal lahan sudah dimanfaatkan dengan maksimal, niscaya tidak perlu lagi ada impor hasil pertanian dan tidak perlu merusak hutan untuk memenuhi kebutuhan kayu.
Pada lahan-lahan hak milik yang terlantar, diperlukan sebuah kebijakan untuk mendorong (kalau perlu memaksa) agar pemilik lahan memanfaatkan lahannya dengan optimal.  Apabila pengambilalihan hak oleh negara tidak dapat diterapkan, kebijakan yang lebih lunak dapat diambil agar pemilik lahan bersedia lahannya dikelola oleh masyarakat lain (yang bisa memanfaatkan lahan dengan optimal) tanpa harus kehilangan hak milik atas lahan tersebut, sehingga terjadi distribusi pemanfaatan lahan.  Bentuk distribusinya bisa melalui kerjasama pemanfaatan lahan dengan jangka waktu tertentu, yang dapat dibuat dalam berbagai pola, seperti sewa lahan ekonomis, maupun kerjasama bagi hasil atau dengan melibatkan pihak ketiga sebagai investor.  Melalui distribusi pemanfaatan lahan, diharapkan lahan-lahan yang tidak dimanfaatkan dengan maksimal oleh pemiliknya, produktivitasnya dapat ditingkatkan, bersamaan dengan terjadinya pemerataan distribusi kesejahteraan tanpa mengakibatkan gesekan konflik lahan. 
Pemberdayaan Petani Penggarap
Jumlah petani penggarap yang tidak mempunyai lahan menurut data BAPPENAS, terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.  Bila pada tahun 1973  jumlah petani penggarap tercatat sebanyak 3,2%, pada tahun 1980 jumlahnya meningkat menjadi 14,9%. Diperkirakan jumlahnya sekarang meningkat lebih besar lagi.  Seperti data Petani gurem (petani berlahan sempit) pada 1993 yang berjumlah 10,8 juta keluarga KK (52,7 % dari total rumah tangga petani). Pada tahun 2003 jumlahnya menjadi 13,7 juta KK ( 56,5 % dari total rumah tangga petani) (Kalela, 2010).  Kenyataan ini menimbulkan paradok, bahwa terdapat petani yang rajin bercocok tanam tetapi tidak mempunyai lahan (sehingga harus bercocok tanam di lokasi yang tidak tepat dan dicap sebagai perambah), tetapi dipihak lain terdapat banyak lahan terlantar yang tidak difungsikan oleh pemiliknya.  Ketiadaan kepemilikan lahan menyebabkan banyak sumberdaya waktu dan tenaga para petani yang berkemauan tinggi belum dimanfaatkan dengan maksimal.
Salah satu tujuan pembangunan adalah tercapainya pemerataan kesejahteraan masyarakat.  Kecenderungan semakin bertambahnya petani penggarap yang tidak mempunyai lahan menjadi masalah tersendiri dalam hal pemerataan kesejahteraan di pedesaan.  Di banyak tempat, kelompok petani yang tidak memiliki lahan tersebut tergolong pada masyarakat marginal yang perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah.  Data BPS (2010) memperlihatkan pula bahwa penduduk miskin di Indonesia yang mencapai 31,02 juta orang, 64,23% dari jumlah tersebut atau 19,93 juta orang merupakan penduduk miskin yang tinggal di desa. Dalam mengatasi masalah tersebut perlu dibuat kegiatan pembangunan yang bisa melibatkan semua lapisan masyarakat, termasuk petani penggarap yang tidak mempunyai lahan, sehingga terjadi pemerataan pembangunan.    
Masih banyaknya lahan masyarakat yang tidak produktif mengindikasikan,  perlu adanya intervensi kegiatan pembangunan agar lahan-lahan yang dimiliki masyarakat tersebut dapat dimanfaatkan dengan maksimal.  Salah satu hambatan bagi pemilik lahan agar bersedia lahannya dikelola oleh pihak lain adalah jangka waktu berapa lama lahannya akan dipakai.  Untuk komoditi pertanian yang berjangka waktu lama, memang pola pengalihan pemanfaatan lahan ini sulit diterapkan karena berhubungan dengan penentuan jangka waktu pemakaian lahan yang lama.  Tetapi untuk kegiatan budidaya pertanian semusim atau kegiatan pengusahaan tanaman kayu berdaur pendek (hutan rakyat), pengalihan pemanfaatan lahan kepada petani lain justru menguntungkan untuk dilakukan.  Karena melalui pola bagi hasil atau sewa lahan yang ekonomis, petani pemilik lahan akan memperoleh manfaat, begitu juga dengan petani penggarap dapat memanfaatkan lahan dengan optimal sehingga produktivitas lahan meningkat.  Dengan daur yang jelas, maka waktu pemanfaatan lahan dapat ditentukan diawal perjanjian  dan setelah itu dapat diusahakan kembali atau dikembalikan kepada pemilik lahan jika akan digunakan untuk keperluan lain.
Perlu dukungan banyak pihak agar kebijakan distribusi lahan menuju lahan yang produktif, ekonomis dan mensejahterakan dapat terwujud.  Apakah dalam bentuk land reform dalam arti distribusi kepemilikan lahan atau dalam bentuk distribusi pemanfaatan lahan.  Seperti riuh rendah komentar terhadap ekspresi seorang presiden yang terharu, seharusnya riuh rendah juga dapat dialamatkan untuk mewujudkan cita-cita yang bisa mensejahterakan masyarakat.  Sehingga kritik balik bahwa pihak di luar pemerintahan hanya bisa mengkritik tanpa bisa memberi solusi, menjadi tidak terbukti adanya. Dari siapapun  solusi itu… rakyat menunggu…..

Oleh : Irwan Setiawan, SHut, MSi.



Gejala perubahan iklim sudah menjadi perhatian serius semua kalangan baik pemerintah maupun masyarakat.  Pemerintah sendiri sudah menetapkannya sebagai prioritas pembangunan nasional sebagaimana dituangkan dalam agenda pembangunan dibidang sumber daya alam dan lingkungan hidup.  Secara nasional pemerintah telah menetapkan target penurunan emisi Indonesia, seperti disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Pertemuan Iklim di Kopenhagen 17 Desember 2009 lalu sebesar 26% hingga 2020 atas kemampuan sendiri.  Bahkan jika ada bantuan internasional, tingkat penurunan emisi Indonesia ditargetkan bisa mencapai 41%.
 Terhadap target penurunan emisi sebesar 26 % tersebut, sektor kehutanan diberi tugas menurunkan  emisi sebesar 14 %. Melihat keterbatasan pemerintah, hampir tidak mungkin target tersebut dapat dicapai apabila hanya mengandalkan sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah. Sehingga pencapaian target tersebut akan sangat ditentukan oleh partisipasi aktif masyarakat dalam berbagai bentuk kegiatan penurunan emisi.
Untuk memenuhi target penurunan emisi tersebut, Kementerian Kehutanan sudah meluncurkan program mitigasi sektor kehutanan untuk penyerapan CO2. Diantaranya dilakukan melalui berbagai bentuk kegiatan penanaman pohon seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa, Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) di Daerah Aliran Sungai (DAS) super kritis, pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), HPH Restorasi Ekosistem dan Hutan Rakyat Kemitraan dengan industri perkayuan, pemberantasan illegal logging, pengendalian kebakaran, perambahan hutan dan pengurangan laju konversi hutan.
Untuk tahun 2010 pemerintah  meluncurkan program Penanaman 1 Miliar Pohon dengan motto “Satu Miliar Pohon Indonesia untuk Dunia” atau “One Billion Indonesian Trees for the World”. Strategi yang disusun Kementerian Kehutanan menyebutkan bahwa, sebanyak 300 juta bibit direncanakan berasal dari partisipasi para pihak  (swasta, BUMN, LSM, Pemda, lembaga donor), disamping penyediaan bibit lainnya melalui anggaran Kementerian Kehutanan tahun 2010 sebanyak 36 juta batang, Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa 320 juta batang, Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai 300 juta batang, serta Hutan Rakyat Kemitraan sebanyak 50 juta batang.
Pertanyaannya adalah, bagaimana caranya agar target partisipasi para pihak dalam menunjang penurunan emisi dapat tercapai?  Salah satu strategi peningkatan partisipasi para pihak tersebut, digagas melalui optimalisasi dana CSR (Corporate Social Responsibility) untuk kegiatan pelestarian lingkungan.  Bahkan presiden SBY pernah memberi arahan perlunya peran aktif dunia usaha untuk mendukung program menanam pohon dalam rangka meningkatkan penyerapan emisi karbon.
Penggunaan dana CSR untuk kegiatan sosial dan pelestarian lingkungan sudah diamanatkan dalam beberapa peraturan, yang  disebut dengan kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan atau lebih dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR), yaitu UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal serta UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, yang menyebutkan bahwa Perseroan/BUMN/ penanam modal harus berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat.  Sehingga penggunaan dana CSR pada dasarnya bisa dilakukan untuk mendukung kegiatan sosial dan lingkungan dalam arti luas.
Jika melihat contoh kasus di Provinsi Banten, sebenarnya inisiatif para pihak sudah mulai bermunculan.  Terbukti dengan adanya beberapa perusahaan yang mengambil peran dalam kegiatan penanaman pohon dan kegiatan pelestarian lingkungan lainnya. Hanya saja kegiatan-kegiatan yang dilakukan belum terkoordinasi dengan baik dan belum memberikan pengaruh yang signifikan bagi peningkatan pelestarian lingkungan.  
Bagi yang kontra dengan konsep CSR, sering menganggap CSR sebagai tambahan beban bagi korporasi dan tidak sesuai dengan tujuan korporasi dalam mengumpulkan keuntungan sebesar-besarnya.  Tetapi bagi yang pro, lebih memandang CSR sebagai bagian penting dari strategi perusahaan mempertahankan eksistensinya.  Dari sudut ini, salah satu kepentingan perusahaan yang paling mudah dijelaskan adalah dengan menjadikan CSR sebagai ajang pembangunan brand image perusahaan.  Bahkan teori yang lebih jauh menyebutkan CSR dapat menjadi bagian dari strategi sustainability korporasi.
Sangat penting, agar potensi dana CSR dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi sesuai konsep MRV (Measurable Reportable Verifiable). Walaupun sifatnya masih terbatas, beberapa pemerintah daerah sudah melakukan pembentukan kelembagaan, agar dana CSR dapat lebih termonitor dan terkoordinasi dengan baik.  Pembentukan kelembagaan tersebut difasilitasi oleh pemerintah daerah dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tertentu sebagai leading sector yang kemudian ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.
Pembentukan kelembagaan bertujuan untuk membantu mengoptimalkan pemanfaatan dana CSR, sehingga potensi dana CSR dapat digali dengan maksimal. Kelembagaan tersebut dipandang perlu sebagai wadah koordinasi yang dapat mengawal kegiatan penggalian dan pengelolaan dana CSR, sehingga semua potensi dapat dikumpulkan dan direalisasikan berdasarkan target waktu dan lokasi kegiatan yang sudah direncanakan dengan matang.   Pembentukan kelembagaan tersebut dapat menjadi langkah strategis agar peran serta para pihak dapat diwadahi dan dikoordinasikan dengan baik, dengan tujuan menjadikan kegiatan pelestarian lingkungan semakin masif dan memasyarakat.
Kelembagaan yang dibentuk dapat diarahkan menjadi trust fund pada tingkat lokal yang akan mengelola dana CSR  atau dana masyarakat lainnya dengan melibatkan lembaga pemerintah terkait, dunia usaha, pihak peduli lingkungan dan para penggiat pemberdayaan masyarakat.  Lembaga yang dibentuk dapat diarahkan menjadi organisasi mandiri dengan operasionalisasi yang dijalankan  secara profesional oleh kolaborasi para pihak.  Dalam hal ini pemerintah dapat memposisikan diri untuk lebih berperan dalam hal pembinaan, pengawasan dan pengendalian pemanfaatan dana CSR sebagai dana publik. Diharapkan dengan strategi ini dapat mendorong lebih besar partisipasi para pihak dalam kegiatan pelestarian lingkungan.