Oleh : IRWAN SETIAWAN, S.Hut, M.Si.



Ketika menyampaikan sambutan dalam acara penyerahan sertifikat tanah kepada petani pada peringatan Hari Agraria Nasional di Istana Bogor, Presiden SBY terhenti sejenak, karena merasa terharu dengan kondisi para petani yang tidak bisa menjadi tuan tanah di negerinya sendiri.  Beberapa media memberitakan presiden menangis, bahkan seolah tidak mau ketinggalan greget, media yang lain menyebutkan presiden menitikkan air mata, beserta bumbu-bumbu lainnya.  Dalam wawancara sebuah stasiun televisi, seorang pengamat mempertanyakan, apakah kesedihan presiden tersebut terlambat, sehingga baru sekarang presiden mengetahui keadaan tersebut? Pengamat tersebut mengkritisi, apakah orang-orang di lingkaran presiden tidak menyampaikan informasi yang memadai sebelumnya, sehingga baru sekarang presiden mengetahui kondisi tersebut? Riuh rendah sepertinya lebih tertuju pada ekspresi presiden, dibandingkan dengan substansi masalah yang tersaji.
Terlepas dari tanggapan yang beragam dari masyarakat,  satu informasi penting yang seharusnya ditangkap adalah, adanya masalah serius dalam hal kepemilikan lahan di negara kita sehingga membuat seorang kepala negara bersedih.  Sebenarnya seberapa parah masalah kepemilikan lahan tersebut mengganggu perjalanan bangsa ini?  Masalah sempitnya luas kepemilikan lahan oleh petani di Indonesia sudah banyak dibahas oleh banyak pakar dan peneliti.  Petani kita yang bertugas memproduksi makanan pokok berjuta penduduk Indonesia dan menyediakan produk pertanian lainnya, rata-rata kepemilikan lahannya hanya 0,25 Ha untuk satu keluarga.  Dengan lahan sesempit itu, tidak mungkin petani dapat melakukan kegiatan budidaya dengan ekonomis. Sehingga tidak heran jika kesejahteraan petani berada pada batas yang menyedihkan dibanding dengan profesi lain.  Padahal petanilah yang berpeluh diterik matahari menangkap energi dan nutrisi alam yang menjadi sumber kehidupan profesi yang lain.
Cita-cita Landreform
Jika lahan yang dimiliki petani terlalu sempit, pertanyaan selanjutnya adalah apakah ada lahan-lahan lain yang bisa dibagikan kepada petani sehingga mereka bisa melakukan kegiatan pertanian yang ekonomis?  Pada jaman Presiden Sukarno sebenarnya telah digagas landreform untuk mendistribusikan lahan kepada para petani.  Tetapi sayang karena gagasan tersebut ditunggangi (ditangkap) oleh sebuah kepentingan politik yang berseberangan dengan idiologi politik yang lainnya, setelah drama politik G30S-PKI konsep landreform menjadi terberangus. 
Salah satu cita-cita landreform adalah meningkatkan produktivitas lahan dan skala ekonomi pengusahaannya, sehingga mampu mensejahterakan petani.  Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan melalui distribusi kepemilikan lahan.  Jepang, Korea Selatan dan Cina disebut sebagai salah satu negara yang berhasil melakukan land reform dan berhasil keluar dari masalah pertanian yang tidak ekonomis serta menciptakan distribusi lahan yang mampu memberikan kesejahteraan yang lebih merata, sehingga mereka tumbuh menjadi negara yang kuat.  
Untuk mewujudkan landreform yang efektif di negara kita, diperlukan kemauan politik yang kuat dan kehati-hatian dalam penerapannya. Trauma masa lalu, menyebabkan isu landreform mudah disalah artikan dan dipadamkan.  Sehingga walaupun setelah reformasi, diperkenalkan model pendekatan baru melalui Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN), yang mentargetkan pendistribusian lahan non produktif kepada para petani dengan total luas 8,12 juta hektar, tetapi sampai saat ini, target tersebut belum kunjung terealisasi.  Harapan baru muncul dengan terbitnya PP Nomor 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang diharapkan dapat  meningatkan kesejahteraan petani melalui pemilikan sebidang lahan produktif. Tetapi sekali lagi, masih perlu waktu untuk dapat melihat cita-cita tersebut dapat terwujud.
Kebijakan Distribusi Pemanfaatan  Pada Lahan Hak Milik
Selain menyelesaikan masalah pada lahan negara yang terlantar, perhatian juga perlu diberikan pada lahan-lahan hak milik yang tidak dimanfaatkan dengan optimal oleh pemiliknya.   Lahan adalah pemberian Tuhan, tidak ada seorangpun manusia yang membuatnya, maka itu siapapun yang dianugerahi memiliki lahan harus mampu mendayagunakannya sehingga memberikan manfaat yang optimal, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang lain yang tidak dianugerahi lahan, karena lahan yang terbatas, tidak mungkin dibagi ke semua penduduk. Luas lahan sangat sulit untuk bisa bertambah (bahkan karena pemanasan global, malah berkurang akibat terendam air laut), maka upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan tidak boleh berhenti.  Untuk itu perlu sebuah kebijakan pemerintah yang konsisten agar lahan yang tersedia bisa berfungsi optimal berbarengan dengan terjadinya pemerataan kesejahteraan masyarakat.
Mengapa kebijakan optimalisasi lahan hak milik menjadi penting? Karena masih banyak lahan yang dikuasai oleh pemilik lahan yang belum optimal pemanfaatannya bahkan terlantar.  Kita akan dengan mudah menjumpai lahan-lahan dengan tujuan investasi dibiarkan terlantar begitu saja. Bukti banyaknya lahan tidak produktif, adalah negara subur seperti Indonesia, yang katanya tongkat kayu dan batu jadi tanaman, ternyata kita masih banyak mengimpor hasil pertanian.  Bukti lainnya bisa dilihat dari data lahan kritis Kementerian Kehutanan yang mencapai lebih dari 185 juta hektar.  Lahan kritis tersebut menjadi bukti bahwa pemilik lahan tidak mendayagunakan lahannya secara optimal.  Padahal dipihak lain terdapat banyak masyarakat yang tidak mempunyai lahan yang bersedia bercocok tanam dimana saja, walaupun di lokasi-lokasi yang berbahaya sekalipun, termasuk merambah kawasan hutan.  Jika setiap jengkal lahan sudah dimanfaatkan dengan maksimal, niscaya tidak perlu lagi ada impor hasil pertanian dan tidak perlu merusak hutan untuk memenuhi kebutuhan kayu.
Pada lahan-lahan hak milik yang terlantar, diperlukan sebuah kebijakan untuk mendorong (kalau perlu memaksa) agar pemilik lahan memanfaatkan lahannya dengan optimal.  Apabila pengambilalihan hak oleh negara tidak dapat diterapkan, kebijakan yang lebih lunak dapat diambil agar pemilik lahan bersedia lahannya dikelola oleh masyarakat lain (yang bisa memanfaatkan lahan dengan optimal) tanpa harus kehilangan hak milik atas lahan tersebut, sehingga terjadi distribusi pemanfaatan lahan.  Bentuk distribusinya bisa melalui kerjasama pemanfaatan lahan dengan jangka waktu tertentu, yang dapat dibuat dalam berbagai pola, seperti sewa lahan ekonomis, maupun kerjasama bagi hasil atau dengan melibatkan pihak ketiga sebagai investor.  Melalui distribusi pemanfaatan lahan, diharapkan lahan-lahan yang tidak dimanfaatkan dengan maksimal oleh pemiliknya, produktivitasnya dapat ditingkatkan, bersamaan dengan terjadinya pemerataan distribusi kesejahteraan tanpa mengakibatkan gesekan konflik lahan. 
Pemberdayaan Petani Penggarap
Jumlah petani penggarap yang tidak mempunyai lahan menurut data BAPPENAS, terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.  Bila pada tahun 1973  jumlah petani penggarap tercatat sebanyak 3,2%, pada tahun 1980 jumlahnya meningkat menjadi 14,9%. Diperkirakan jumlahnya sekarang meningkat lebih besar lagi.  Seperti data Petani gurem (petani berlahan sempit) pada 1993 yang berjumlah 10,8 juta keluarga KK (52,7 % dari total rumah tangga petani). Pada tahun 2003 jumlahnya menjadi 13,7 juta KK ( 56,5 % dari total rumah tangga petani) (Kalela, 2010).  Kenyataan ini menimbulkan paradok, bahwa terdapat petani yang rajin bercocok tanam tetapi tidak mempunyai lahan (sehingga harus bercocok tanam di lokasi yang tidak tepat dan dicap sebagai perambah), tetapi dipihak lain terdapat banyak lahan terlantar yang tidak difungsikan oleh pemiliknya.  Ketiadaan kepemilikan lahan menyebabkan banyak sumberdaya waktu dan tenaga para petani yang berkemauan tinggi belum dimanfaatkan dengan maksimal.
Salah satu tujuan pembangunan adalah tercapainya pemerataan kesejahteraan masyarakat.  Kecenderungan semakin bertambahnya petani penggarap yang tidak mempunyai lahan menjadi masalah tersendiri dalam hal pemerataan kesejahteraan di pedesaan.  Di banyak tempat, kelompok petani yang tidak memiliki lahan tersebut tergolong pada masyarakat marginal yang perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah.  Data BPS (2010) memperlihatkan pula bahwa penduduk miskin di Indonesia yang mencapai 31,02 juta orang, 64,23% dari jumlah tersebut atau 19,93 juta orang merupakan penduduk miskin yang tinggal di desa. Dalam mengatasi masalah tersebut perlu dibuat kegiatan pembangunan yang bisa melibatkan semua lapisan masyarakat, termasuk petani penggarap yang tidak mempunyai lahan, sehingga terjadi pemerataan pembangunan.    
Masih banyaknya lahan masyarakat yang tidak produktif mengindikasikan,  perlu adanya intervensi kegiatan pembangunan agar lahan-lahan yang dimiliki masyarakat tersebut dapat dimanfaatkan dengan maksimal.  Salah satu hambatan bagi pemilik lahan agar bersedia lahannya dikelola oleh pihak lain adalah jangka waktu berapa lama lahannya akan dipakai.  Untuk komoditi pertanian yang berjangka waktu lama, memang pola pengalihan pemanfaatan lahan ini sulit diterapkan karena berhubungan dengan penentuan jangka waktu pemakaian lahan yang lama.  Tetapi untuk kegiatan budidaya pertanian semusim atau kegiatan pengusahaan tanaman kayu berdaur pendek (hutan rakyat), pengalihan pemanfaatan lahan kepada petani lain justru menguntungkan untuk dilakukan.  Karena melalui pola bagi hasil atau sewa lahan yang ekonomis, petani pemilik lahan akan memperoleh manfaat, begitu juga dengan petani penggarap dapat memanfaatkan lahan dengan optimal sehingga produktivitas lahan meningkat.  Dengan daur yang jelas, maka waktu pemanfaatan lahan dapat ditentukan diawal perjanjian  dan setelah itu dapat diusahakan kembali atau dikembalikan kepada pemilik lahan jika akan digunakan untuk keperluan lain.
Perlu dukungan banyak pihak agar kebijakan distribusi lahan menuju lahan yang produktif, ekonomis dan mensejahterakan dapat terwujud.  Apakah dalam bentuk land reform dalam arti distribusi kepemilikan lahan atau dalam bentuk distribusi pemanfaatan lahan.  Seperti riuh rendah komentar terhadap ekspresi seorang presiden yang terharu, seharusnya riuh rendah juga dapat dialamatkan untuk mewujudkan cita-cita yang bisa mensejahterakan masyarakat.  Sehingga kritik balik bahwa pihak di luar pemerintahan hanya bisa mengkritik tanpa bisa memberi solusi, menjadi tidak terbukti adanya. Dari siapapun  solusi itu… rakyat menunggu…..

0 komentar:

Posting Komentar