Pada tanggal 30 September – 1 Oktober 2010 bertempat di di Hotel Yogyakarta Plaza berlangsung rapat Konsultasi Regional Jawa Penyusunan Strategi Nasional REDD+, dengan peserta undangan BAPENAS, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, UN REDD, UNDP Indonesia, Penulis isi, BAPPEDA Provinsi se jawa, Dinas Kehutanan Provinsi se jawa, Dinas Pertanian Provinsi se jawa, Dinas Pertambangan Provinsi se jawa, Dinas Pekerjaan Umum Provinsi se jawa, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi se jawa, Balai Taman Nasional se jawa, BPDAS se jawa, BKSDA se jawa, BPKH Jogjakarta,  NGO lokal, WWF, masyarakat adat, perguruna tinggi dan Perum Perhutani
Hadir dari Provinsi Banten, Kepala Bidang Prasarana Wilayah BAPPEDA Provinsi Banten, Dinas Bina Marga dan Tata Ruang Provinsi Banten dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten.  Wakil dari pemerintah pusat dalam diskusi kelompok Provinsi Banten adalah BKSDA Jabar dan BPDAS Citarum Ciliwung.  Tidak ada undangan untuk NGO lokal Banten.
Rapat konsultasi diselenggarakan dengan tujuan : 1) untuk mendiseminasikan kepada para pemangku kepentingan utama dokumen strategi nasional, profil dan penyebab laju deforestasi dan degradasi hutan dan REL (Reference Emission Level) masing-masing provinsi; 2) mendapatkan masukan dan saran perbaikan; 3) menyampaikan protokol komunikasi pasca konsultasi kepada pemangku kepentingan; 4) memperluas jaringan pemangku kepentingan terkait REDD+
REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus) merupakan pendekatan kebijakan dan insentif positif pada isu-isu yang berkenaan dengan pengurangan emisi yang berasal dari penurunan kerusakan hutan dan tutupan hutan, peran konservasi, pengelolaan hutan secara lestari serta peningkatan stock karbon hutan di negara berkembang.
Setiap Provinsi mendapat kesempatan untuk mempresentasikan tanggapan terhadap draft Stranas REDD+, profil provinsi, profil laju deforestasi dan degradasi serta REL.  Pada sesi presentasi ini, Provinsi Banten diwakili oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten dan tambahan dari BAPPEDA Provinsi Banten. Untuk membahas tema tersebut, pada hari kedua dilakukan FGD (Focus Grup Discussion) per provinsi dan hasilnya disampaikan pada acara pleno diakhir acara.
Tanggapan dari peserta rapat akan dibahas oleh Tim Penyusun STRANAS REDD+, sebagai bahan penyempurnaan draft.  Sedangkan finalisasi akan dilakukan setelah selesai konsultasi seluruh region dan ditutup dengan konsultasi nasional STRANAS REDD+

TANGGAPAN UMUM PESERTA RAPAT

Terhadap draft Stranas REDD+,  peserta rapat memberi tanggapan umum diantaranya adalah :
1.         Stranas REDD+ masih memuat materi yang seragam untuk seluruh kawasan dan seluruh ekosistem, padahal terdapat berbagai ragam karakteristik wilayah dan ekosistem hutan yang tidak mungkin untuk diseragamkan.
2.         Stranas REDD+ belum mewadahi karakteristik pengelolaan hutan yang berbeda antarai Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa.
3.         Starnas REDD+ baru memuat materi yang berkaitan dengan kawasan hutan, belum menyebut secara langsung kebijakan pengelolaan hutan diluar kawasan hutan seperti hutan rakyat.  Dalam kasus Pulau Jawa, boleh jadi hutan rakyat akan memegang peranan paling penting dalam melakukan kegiatan penyerapan karbon.

TANGGAPAN  TERHADAP TINGKAT EMISI REFERENSI (REFERENCE EMISSION LEVEL)

Berdasarkan hasil FGD provinsi, beberapa tanggapan yang disampaikan Provinsi Banten terhadap draft Stranas REDD+ adalah :
1.         Data yang disampaikan dalam Draft Stranas REDD+ belum detail, seperti data REL hanya dalam bentuk grafik, sehingga tidak bisa dibaca berapa angka REL Provinsi Banten serta perlu mencantumkan metode perhitungan sebagai bahan cross chek para pihak.
2.         REL per provinsi yang disusun berdasarkan data historis laju deforestasi hutan dan gambut, menunjukan REL terbesar adalah Provinsi Riau, diikuti Kalimantan Tengah, Papua, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan provinsi lainnya, Lampung, DIY dan DKI memiliki REL nol sedangkan Provinsi Banten mendekati nol (angkanya tidak terbaca).  Berdasarkan patokan data lahan kritis di Provinsi Banten, kemungkinan angka REL Banten lebih tinggi dari yang dilaporkan.  Data lahan kritis yang disampaikan BPDAS Citarum Ciliwung seluas ± 250.000 ha, sementara Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten menyampaikan luas lahan kritis diluar kawasan hutan sekitar 100.000 ha. 
3.         Terhadap kebijakan imlementasi REDD+ di daerah, diperlukan adanya Kebijakan  top down yang adaptif sebagai bahan rujukan pemerintah daerah
4.         Dalam upaya meningkatkan penurunan emisi, masih diperlukan penyusunan PERDA tentang pelestarian hutan dan lingkungan di Provinsi Banten seperti PERDA Pengelolaan Kawasan Lindung dan PERDA Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Mengingat saat ini Provinsi Banten baru memiliki 1 PERDA yang berkaitan pengelolaan hutan.
5.         BAPPEDA Provinsi Banten menyampaikan komitmen tahun 2011 untuk disusulkan Pembentukan POKJA daerah dan Kajian Data Tekhnis yang terkait dengan REDD.
6.         Lesson Learned  dari Provinsi Banten adalah Forum pelestarian DAS Hulu-Hilir di Banten dapat berjalan dengan baik sebagai bahan pembelajaran pelestarian DAS yang terintegrasi antara hulu dan hilir dan dapat diintegrasikan dengan kegiatan pelestarian lingkungan, penurunan emisi dan penyerapan karbon.

TANGGAPAN TERHADAP PENURUNAN LAJU DEFORESTASI DAN DEGRADASI
Identifikasi penyebab deforestasi dan degradasi hutan dilakukan menggunakan analisis Fishbone, tanggapan yang disampaikan Provinsi Banten adalah :
1.         Menambahkan aspek pengendalian tata ruang yang tidak konsisten sebagai komponen masalah dari aspek kategori masalah tata ruang yang lemah
2.         Mengusulkan untuk memisahkan kategori masalah unit manajemen hutan antara unit manajeman kawasan hutan dan unit manajemen diluar kawasan hutan
3.         Karena berdasarkan data REL yang disampaikan Provinsi Banten angkanya mendekati nol, mengandung arti aspek REDD+ di Provinsi Banten mengarah pada kegiatan reforestasi, sehingga diusulkan perlunya menambahkan kategori masalah reforestasi belum optimal dengan komponen masalah terdiri dari :
-    Anggaran untuk kegiatan rehabilitasi lahan belum mendapatkan prioritas
-    Rendahnya realisasi anggaran kegiatan rehabilitasi lahan (APBN) karena adanya ketakutan dari para penanggung jawab kegiatan
-    Pembinaan / kelembagaan / kemitraan dalam rangka mendukung kegiatan rehabilitasi lahan yang berbasis bisnis belum berjalan karena belum terbentuknya iklim bisnis pengusahaan hutan rakyat dengan sistem penjanjian berjangka waktu lama.
-    Belum terbentuknya unit pengelolaan hutan lestari di luar kawasan hutan
4.         Terhadap kategori tenurial bermasalah, Provinsi Banten menambahkan komponen masalah masih banyaknya lahan tidur yang tidak dikelola optimal oleh pemiliknya.  Justifikasinya adalah tercermin dari masih tingginya luas lahan kritis non kawasan hutan di Provinsi Banten.  Sedangkan disisi lain terdapat petani penggarap yang mencapai 30-50%, tidak memiliki lahan sehingga mereka merambah kawasan hutan untuk melakukan kegiatan budidaya.  Diusulkan perlunya kebijakan yang bisa mengurangi lahan hak milik yang terlantar, diantaranya dengan pola bagi hasil dengan para petani yang tidak memiliki lahan.

TANGGAPAN  TERHADAP STRATEGI NASIONAL REDD+

1.         Tanggapan terhadap prasarat  :
-      Diperlukan Pendampingan untuk peningkatan capacity building
-      Kelembagaan Khusus REDD di Daerah
-      Perlibatan dan dukungan lembaga legislasif
2.         Tanggapan terhadap Reformasi sektor :
-      Diperlukan pemerataan pemanfaatan lahan dan mekanisme pemanfaatan lahan antara pemilik lahan dan petani penggarap dalam rangka kegiatan peningkatan penyerapan karbon.
3.         Tanggapan terhadap distribusi manfaat :
-      Insentif yang diperoleh dari pembayaran dari keberhasilan penurunan emisi sebaiknya digunakan untuk perbaikan lingkungan, mitigasi bencana dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
-      Memastikan intensif yang diperoleh dapat dinikmati oleh daerah yang saat ini telah berhasil menurunkan emisi dan menjaga hutan dengan baik (emisinya kecil),  sehingga insentif bukan hanya terkonsentrasi pada pada daerah yang memiliki emisi besar, yang boleh jadi emisi tersebut disebabkan oleh pengelolaan hutan yang belum baik.
-      Insentif diberikan dalam distribusi yang berkeadilan antara daerah yang mampu menurunkan emisi dan daerah yang menaikkan stok karbon
-      Karena masyarakat sekitar kawasan hutan akan menanggung beban yang lebih berat dalam implemantasi REDD, maka harus ada kepastian bahwa manfaat yang diperoleh bisa dirasakan oleh masyarakat disekitar kawasan hutan.  Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang memihak masyarakat disekitar kawasan hutan dan kelembagaan pengelolaannya harus jelas.
-      Salah satu pola pemanfaatan yang dilakukan dapat mengambil banch mark program nasional yang sudah berjalan seperti PNPM.  Pendistribusian manfaat dapat diberikan pada lembaga masyarakat disekitar kawasan hutan dalam bentuk transper tunai yang akan digunakan untuk kegiatan ekonomi seperti pembangunan hutan rakyat.  Lembaga masyarakat yang dipilih dapat menggunakan lembaga masyarakat yang sudah ada seperti Lembaga Desa Masyarakat Hutan (LMDH) atau lembaga masyarakat baru yang dibentuk melalui kegiatan pendampingan yang kredibel.

REKOMENDASI

1.         Penurunan emisi 26 % atas kemampuan sendiri dan 41 % dengan dukungan luar negeri merupakan komitmen nasional yang sudah disampaikan Presiden SBY pada Sidang G20 di Pittsburgh September 2009 dan COP 15 UNFCCC di Kopenhagen Desember 2009.  Komitmen tersebut memerlukan dukungan semua pihak termasuk pemerintah daerah dengan cara mengambil peran sesuai dengan tugas dan kewenangannya masing-masing.  Provinsi Banten sebagai bagian dari struktur pemerintahan dan komponen bangsa ikut bertanggung jawab untuk mewujudkan komitmen tesebut.
2.     BAPPEDA Provinsi Banten sudah menyampaikan komitmen untuk menganggarkan kegiatan pembentukan POKJA daerah dan kegiatan kajian data teknis terkait REDD+ dalam APBD Tahun 2011.  Diperlukan tindak lanjut agar komitmen tersebut terealisasi pada tahun 2011.
3.         Dalam rangka desimenasi SRTANAS REDD+ di Provinsi Banten, diperlukan pertemuan dengan para pemangku kepentingan di Provinsi Banten untuk membicarakan langkah tindak lanjut yang perlu diambil.  Penyelenggaraan rapat bisa dilakukan dengan mengundang pemerintah pusat yang terlibat dalam penyusunan STRANAS REDD+ seperti BAPPENAS dan Kementerian Kehutanan.
4.         Salah satu skema stategi REDD+ adalah peningkatan stock karbon. Apabila mekanisme melalui pembangunan hutan rakyat dimungkinkan dalam skema REDD+, Dinas Kehutanan dan Perkebunan dapat menindaklanjutinya melalui kegiatan pembangunan hutan rakyat yang lebih terarah, salah satunya melalui inisiasi “Rehabilitasi Lahan Mandiri Berkelanjutan”
5.         Konsep “Rehabilitasi Lahan Mandiri Berkelanjutan” diajukan dengan pertimbangan sebagai berikut :
-      Perlunya konsep kegiatan yang disusun dengan memperhatikan pemerataan kesejahteraan di pedesaan.  Justifikasinya adalah masih banyak lahan yang tidak dikelola dengan optimal oleh pemilik lahan yang tercermin dari data luas lahan kritis yang mencapai 117.913,29 ha.  Tetapi disisi lain terdapat paradok petani yang ingin melakukan kegiatan budidaya ternyata terbentur masalah lahan. Menurut data BAPPENAS Bila pada tahun 1973  jumlah petani penggarap tercatat sebanyak 3,2%, pada tahun 1980 jumlahnya meningkat menjadi 14,9%.  Sebuah contoh data mikro keadaan pemilikan lahan di Kabupaten Pandeglang menunjukan, misalnya  Di Desa Cipicung dan Desa Cimanuk jumlah petani penggarap yang tidak memiliki lahan mencapai 50-60%.
-      Perlunya konsep kegiatan pemberdayaan masyarakat, yang mampu mengarahkan masyarakat agar mampu melakukan kegiatan rehabilitasi lahan secara mandiri, sehingga kegiatan rehabilitasi lahan tidak membebani anggaran pemerintah secara terus menerus.
-      Perlunya konsep rehabilitasi yang memperhitungkan manfaat ekonomi langsung untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
-      Perlunya konsep kegiatan rehbailitasi lahan yang bergulir secara berkelanjutan dan mampu meningkatkan luas lahan terehabilitasi dengan ekskalasi yang signifikan.
-      Pola yang memiliki kemiripan sudah digagas di Provinsi Jawa Barat untuk tahun 2011 dengan nama “Rehabilitasi Lahan Berbasis Bisnis”.
-      Rehabilitasi lahan dalam bentuk pembangunan hutan rakyat secara mandiri dan swadaya oleh masyarakat kemungkinan akan terus berkembang walaupun tanpa sentuhan pemerintah tapi dengan peningkatan yang tidak terlalu cepat.  Pemerintah tinggal memberi sentuhan dengan konsep kegiatan yang tepat, agar pembangunan hutan rakyat dapat berlari cepat sekaligus untuk menyelamatkan eksistensi pemerintah ditengah hingar-bingar bisnis pengusahaan rakyat.  Jangan sampai timbul keraguan terhadap peran pemerintah dalam percepatan pembangunan hutan rakyat.

0 komentar:

Posting Komentar